AKU DAN DILDO
AKU DAN DILDO
CERITA SEX GAY,,,,,
“Apa-apaan kamu!” ujar ayahku, segera masuk dan menutup pintu.
Aku tersentak kaget. Jantungku berdebar kencang. Mataku membelalak, lalu berkedip-kedip. Aku membungkukkan badan, menarik kedua kakiku dan memeluknya dengan tangan kananku. Tangan kiriku menarik bantal terdekat dan menutupi badanku, semampu sebuah bantal menutupi tubuh. Tidak cukup cepat, kupikir. Mukaku terasa panas–aku yakin pasti kemerahan.
Ayahku melihat ke kiri, kanan, lalu ke ranjangku yang berantakan. Seakan puas menginspeksi TKP, ayahku lalu kembali melihat ke arahku, lalu menggeleng-gelengkan kepala. Dia berjalan mendekatiku. Aku pun bergegas menjauhkan diri dalam ketakutan, tapi yang bisa kulakukan hanya duduk lebih tegak dan merapatkan kaki dengan dada, bersandar pada punggung ranjang.
Sejak kecil ayahku keras terhadap anak-anaknya. Aku paling takut kalau ayahku marah–mukanya mengerikan, tangannya siap melayang. Dan pukulannya keras dan sakit luar biasa. Mendekatiku seperti itu, pikiranku kacau dan jujur saja aku ketakutan.
Dan ayahku pun duduk di samping ranjang, jaraknya hanya sekitar dua lengan dariku. Tangan kirinya menjangkauku pelan, diletakkannya di atas bantal yang kugunakan untuk menutupi tubuhku. Lalu dia menariknya dengan paksa. Dan matanya tertuju tepat pada bagian yang tadi kututupi, seakan memeriksa ulang apa benar yang tadi dilihatnya. Tiba-tiba tangan kanannya melayang.
Sedetik pertama aku tidak sadar itu terjadi. Baru setelahnya rasa sakit di pipiku menyadarkanku. Ayah baru saja menamparku. Aku menutup mata melihat tangan kanannya diangkat lagi, kutolehkan wajahku ke samping. Tangannya hinggap di kepalaku. Dan ayahku mengelus kepalaku. “Seumur-umur papa hidup benar. Baru pertama kali papa lihat–anak sendiri papa gedein rupanya kayak gini.”
Aku mengintip dari balik lengan ayahku. Ayahku terlihat seperti kecewa. “Maaf pa,” kataku. Aku masih tidak bergerak, seluruh tubuhku seakan terkunci di sana.
“Udah sejak kapan kamu main ginian?” tanya ayahku, tangannya masih mengelus kepalaku seakan mencoba menenangkanku. Pertanyaan seperti itu membuatku diam sejenak dan benar-benar mengingat sejak kapan. Tapi lanjut ayahku, “Gimana pun kamu tetap anak papa. Cuma papa ngga ngerti kenapa kamu gini–apa enaknya pantat disodokin batang.”
Kata-kata itu membuatku sekaligus malu dan terangsang. Untungnya ditutupi kedua kakiku ayahku tidak dapat melihat penisku yang mulai mengeras lagi. Tanganku masih menutupi lubang pantatku, menekan dalam-dalam dildo, seakan-akan hal itu dapat membuat ayahku lupa apa yang sudah dilihatnya.
“Coba kamu bilang, Wendy. Kita sama-sama udah dewasa. Apa enaknya?” tanyanya lagi, tangannya menarik tanganku dari pantatku. Dildo sepanjang 20 cm itu terdorong keluar dengan sendirinya.
Sesaat aku ragu apa aku perlu menjawabnya. Tapi aku tahu kedua kalinya ayahku bertanya adalah saatnya bagiku untuk menjawab. “Enak aja pa. Di..didorong nekan prostat gitu.”
Mendengarnya, ayahku melihat ke arah wajahku. Satu ujung bibirnya naik, tersenyum heran mendengarku. Lalu ayahku kembali melihat ke arah dildo yang masih tertancap di lubang pantatku. Saat itu juga aku tersadar dengan bulu-bulu di sekitar lubangku, dan malu akan hal itu–malu dengan badan sendiri, aku mencoba menutupinya kembali dengan tanganku. Tapi tangan ayahku menepis tanganku dan menggengam dildo itu. Tanpa aba-aba ditariknya, cukup cepat dalam sekali tarikan, membuatku mengerang kesakitan.
Melihat bentuk dildo itu–seakan ayahku baru tersadar bahwa itu bukan sembarang batang, tapi sebuah dildo–ayahku menggeleng-gelengkan kepalanya sekali lagi. “Papa heran kamu beli di mana barang kayak gini. Untung tadi yang masuk papa, bukan mama atau adik-adik kamu. Setidaknya lain kali inget kunci dulu.”
Aku agak terheran mendengarnya–tapi aku menjawab, “Iya pa”. Seakan dia tidak masalah jika aku melakukan ini lagi di kemudian hari. Lalu ayahku menegakkan badannya, meletakkan dildo yang masih basah itu di ranjang, dan bergerak mendekatiku. Wajahnya tepat di depan mataku, dahinya menempel dahiku. “Wendy,” katanya pelan. “Kasih papa lihat kamu mainin ini. Papa mau lihat.”
Melihatnya sedekat itu, mendengar kata-katanya dari sedekat itu–semua kata-kata itu terasa menghipnotisku. Dan aku, tanpa berpikir, mengangguk. Ayahku berdiri, lalu berjalan menuju pintu kamarku dan menguncinya. Kepalanya menoleh ke arah kain gorden yang menutupi pintu kaca balkon, sepertinya mengecek kalau-kalau ada cela. Lalu dia menarik kursi dari meja belajarku dan duduk. Kepalanya mengangguk, memberiku tanda untuk mulai.
Aku membalasnya dengan mengangguk kecil, wajahku tak berekspresi. Masih bingung, masih bertanya-tanya dalam hati kenapa ayahku membuat permintaan semacam itu, aku membungkukkan badan dan memanjangkan lenganku untuk mengambil dildo berwarna hitam itu. Dildo sederhana, tanpa ada guratan maupun fungsi tambahan, cukup lentur. Aku tahu ayahku straight, dan cukup playboy. Aku sering memergokinya memperhatikan cewe-cewe seksi kalau kita sedang jalan bareng di luar. Teman-teman prianya bukan tipe metrosexual. Dan banyak faktor-faktor lain yang membuatku berkesimpulan bahwa ayahku seorang pria straight tulen. Ayahku cukup ganteng–kita tidak terlalu mirip. Di usianya yang ke-48, badannya terlihat masih fit, dan kulitnya kencang. Seluruh tubuhnya penuh dengan tato, yang notabene dulu ditambahkannya tiap kali dia mengalami stress. Dan aku melihat ke arah selangkangan ayahku, tidak terlihat ada tonjolan. Berbagai pertanyaan muncul di benakku, tapi aku tidak berani mengulur-ulur waktu.
Aku mengambil botol pelumas dari meja kecil di samping ranjangku. Kuoleskan pelumas pada dildo, kuusapkan dengan rata. Lalu aku berbaring dengan sedikit bersandar pada punggung ranjang. Aku membuka kedua pahaku, menekukkan keduanya di kiri dan kanan.
“Hadapin ke sini,” kata ayahku.
Aku lalu bergerak sedikit memutarkan badan, mengarahkan bagian bawah tubuhku ke arah pandangan ayahku. Malu tapi sekaligus makin terangsang. Mungkin aku seorang exhibitionist. Aku kembali membenarkan posisi paha-pahaku. Sedikit menarik kepalaku ke atas, tangan kananku menjulur membawa dildo, tangan kiriku sedikit menarik paha kiriku supaya aku dapat lebih mudah mengarahkannya. Aku menempelkan ujung dildo itu di pangkal kontolku, dan kuarahkannya ke bawah, berhenti sewaktu aku merasakan sesuatu tepat di luar lubangku.
Perlahan kudorong dildo itu masuk. Sedikit menahan rasa sakit. Tangan kiriku langsung menggapai kontolku, sedikit mengocok-ngocok mengimbangi rasa sakit. Perlahan dildo itu menyusuri dinding lubangku–satu senti, dua senti, tiga senti… Sampai akhirnya aku rasakan jempolku menempel di atas lubangku. Aku kembali melihat ke arah ayahku–dia masih duduk terdiam melihatku, sama sekali tidak ada tanda-tanda dia akan melakukan sesuatu.
Tidak lebih lanjut menghiraukannya, aku perlahan menarik keluar dildo itu. Kocokanku sedikit makin cepat. Precum membasahi kontolku. Lalu aku mendorong dildo itu kembali masuk. Merasa cukup nyaman, aku mempercepat gerakanku, menarik, mendorong dildo masuk dan keluar dari lubangku. Aku tahu di rumah sedang kosong–hanya ada aku dan ayahku karena ibu, adik-adikku, dan pembantuku baru saja keluar untuk menghadiri kawinan orang lain. Aku mengerang karena nikmat, saat ujung dildo itu mendorong dinding prostatku lalu lebih dalam lagi menyodok lainnya–rasa aneh yang terjadi di dalam perut bawahku, rasa aneh membuatku makin terangsang. “Ahh! Ahh!” erangku sambil menutup mata.
Untuk beberapa saat aku terus memboboli lubangku sendiri dengan dildo itu, semakin lama semakin dalam dan cepat. Tiap tarikan semakin panjang, membuat badanku merinding. Aku juga mengocok makin cepat. Bosan, aku menarik keluar dildo itu. Aku bangun dan mengambil posisi membelakangi ayahku. Lalu aku berlutut dan membungkukkan badanku, bertumpu pada kedua lutut dan tangan kananku. Dengan tangan kiriku aku kembali memasukkan dildo itu, kali ini dengan cepat dan tanpa perlu pemanasan lagi aku menyodok-nyodokkannya. Sesekali kepalaku melenguh ke atas, ke bawah. Di depanku sebuah cermin yang cukup besar, dan di sana terlihat aku sendiri dan ayahku.
Aku suka dengan tubuhku sendiri. Aku suka melihat tubuhku. Meski aku tidak sering berolah-raga, dan perutku sedikit maju. Aku suka segala hal tentang diriku. Wajah, leher, bahu, ketiak dan bulu-bulunya, dada, puting, perut, bulu kemaluanku yang lebat, kontolku yang cukup panjang dan tebal, selangkangan, paha, dan kaki. Aku suka semua bagian tubuhku. Tiap kali aku melihat diriku sendiri dalam keadaan telanjang, aku terangsang. Aku ingin bisa menikmati semua bagian tubuhku, tapi yang bisa kulakukan tidak banyak.
Aku melepaskan tanganku dari dildo di dalam lubangku, menegakkan tubuhku, masih berlutut. Aku memandangi lekukan tubuhku sendiri. Tidak peduli lagi dengan keberadaan ayahku di belakang, aku memainkan putingku. Tangan kananku mencubit-cubit putingku, tangan kiriku mengusap dada dan perutku sendiri. Lalu aku mengangkat tangan kananku ke atas, kuhirup ketiakku. Aku tidak bau. Lalu kujulurkan lidahku ke kulit ketiakku, menjilatinya. Kontolku sudah sangat keras, dan kapan pun aku dapat ejakulasi.
Sesuatu yang tak kusangka terjadi adalah melihat ayahku menurunkan celananya. Dari balik celana dalam putihnya terlihat sebatang kontol yang sudah keras, di ujungnya terlihat cukup basah karena precum. Ayahku lalu menurunkan juga celana dalamnya, menyelipkan kontolnya keluar. Beda dengan aku yang berkulit terang, ayahku cenderung berkulit gelap seperti pamanku. Kontolnya sama persis dengan kontolku, bentuknya, panjangnya. Hanya ayahku juga menyelipkan keluar kedua buah zakarnya, dan keduanya berbeda dengan milikku yang ukurannya biasa. Kedua buah zakar ayahku berbulu dan sangat besar, seakan menyimpan persediaan sperma yang sangat banyak. Dan dia mulai mengocoknya.
Melihat kontolnya–melihatnya terangsang melihatku membuatku makin terangsang. Aku ingin menyentuh kontolnya, memainkannya, menghisapnya. Tapi aku tahu itu salah. Aku tahu ayah tidak akan membiarkanku melakukannya. Aku kembali ke posisi terlentang di ranjang. Kusisipkan bantal di bawah kepalaku supaya aku dapat terus melihat kontol ayahku. Aku pun mulai menyodok-nyodokkan dildo ke dalam lubangku lagi. Aku mulai kehilangan fokus karena semua ini, tapi aku tetap berusaha memperhatikan ayahku.
“Pa aku mau keluar,” kataku. Ayahku lalu bangun dari kursi dan berdiri mendekatiku, tepat di belakang kedua kakiku. Dia terus mengocok. Aku terus mengocok, memainkan dildo, dan mengerang-erang. Tak lama kemudian aku mengerang keras, menyemburkan sperma berkali-kali ke mana-mana–wajah, leher, dada, dan perutku. Lalu ayahku pun ikut menyemburkan spermanya, jatuh di kontol, selangkangan, dan perutku–teramat banyak, teramat kental. Merasakan hangat aliran pejunya di kulitku membuatku tersentak dan berejakulasi tambahan. Denyutan di kontolku berlanjut berkali-kali meski terasa sudah benar-benar habis spermaku.
Kita berdua hanya di sana tanpa bergerak, masih menyusun nafas. Aku menarik keluar dildo itu dari dalam lubangku, dan kujatuhkannya di sembarang tempat. Badanku masih penuh berlumuran sperma. Ayahku mengambil handuk dari dekatnya, mengelap kontolnya, lalu melemparkannya ke perutku.
“Jangan bilang siapa-siapa,” kata ayahku sambil membenarkan celananya. Dia menarik karet celananya dan melepaskannya, lalu menarik kaus singletnya keluar dari celana. Lalu dia berjalan ke arah pintu kamarku. Menoleh sebentar ke arahku yang masih tergeletak lemas di ranjang, lalu dia membuka pintu dan keluar.
Aku lalu mengelap tubuhku dengan handuk dan bergegas ke kamar mandi. Aku mandi dengan seksama, masih belum percaya ayahku sendiri menikmati menonton aku main dengan diriku sendiri. Seusainya aku keluar dari kamar untuk minum dan makan. Ayahku duduk di sofa menonton TV. Kita berlagak seakan hal tadi tidak terjadi.
Dan tidak pernah lagi terjadi. Sesekali di kemudian hari ayahku terkadang mengingatkanku untuk tidak bermain terlalu kasar, takutnya luka di lubangku dan semacamnya. Tapi kita tidak pernah lagi melakukan hal itu. Semua ini terjadi sewaktu aku sedang di rumah, beberapa bulan sejak aku dan Budi menjaga jarak,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,